Penanganan HIV/AIDS Masih Dikeluhkan
Jakarta, Kompas - Akses layanan kesehatan bagi orang
dengan HIV/AIDS masih terbatas. Penanganannya belum menjanjikan pencapaian
sasaran yang ditetapkan pemerintah dalam Tujuan Pembangunan Milenium 2015.
Laporan Bappenas tentang Tujuan Pembangunan Milenium
(MDG) 2010 menyebutkan, jumlah infeksi baru masih meningkat meskipun prevalensi
HIV/AIDS rendah, yakni 0,17 persen dari semua penduduk.
"HIV/AIDS musuh bersama. Semua, baik pemerintah,
dunia usaha, LSM (lembaga swadaya masyarakat), pekerja, maupun unsur masyarakat
lain, marilah menanggulangi bersama," kata Wakil Presiden Boediono pada
peringatan Hari AIDS Sedunia, Minggu (27/11), di Silang Monumen Nasional,
Jakarta.
Wapres menilai, upaya yang perlu ditingkatkan antara
lain memperluas jaringan fasilitas layanan, meningkatkan keikutsertaan publik
mencegah dan menangani HIV/AIDS, memperbaiki koordinasi dan tata kelola semua
pihak, serta memperbaiki sistem informasi HIV/AIDS.
Laporan Program PBB untuk AIDS menyebutkan, jumlah
kematian karena HIV/AIDS di dunia mencapai puncaknya tahun 2005 dengan 2,2 juta
kematian. Angka itu turun menjadi 1,8 juta kematian.
Angka kematian menurun. Namun, jumlah orang meninggal
akibat AIDS masih 3.000-5.000 orang per tahun (10 orang setiap hari).
Diskriminasi
Di Indonesia, orang dengan HIV/AIDS (ODHA) masih
merasa didiskriminasikan oleh petugas, pengelola fasilitas kesehatan, dan
penyedia asuransi. Anggota Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia, Hussen
Basalamah, mengatakan, tak semua rumah sakit mau melayani pengidap HIV/AIDS.
"Banyak petugas kesehatan belum tahu cara menangani orang terinfeksi
HIV," katanya.
Setelah dirujuk, pasien harus menjelaskan kepada
penyedia asuransi mengapa harus berobat ke rumah sakit tertentu, bukan rumah
sakit yang ditunjuk penyedia asuransi. Mau tak mau mereka harus menjelaskan
bahwa mereka terinfeksi HIV.
Hingga kini tak ada asuransi kesehatan swasta yang
memberi perlindungan bagi pengidap HIV/AIDS atau keluarganya. Satu-satunya
pembiayaan kesehatan yang menanggung perawatan adalah jaminan kesehatan
masyarakat (jamkesmas). Namun, praktiknya sering tak sesuai.
"Pertanggungan yang diberikan tergantung
pendekatan LSM atau kelompok pendamping kepada dokter rumah sakit/puskesmas dan
pengelola jaminan," kata peneliti Pusat Penelitian HIV/AIDS Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya, Very Kamil.
Pemahaman keliru tentang HIV/AIDS dan keterbatasan
petugas serta sarana kesehatan membuat banyak pemerintah daerah menyerahkan
penanganan pengidap langsung ke rumah sakit rujukan tingkat provinsi.
Kelompok produktif
Peringatan Hari AIDS Sedunia kali ini bertema
"Lindungi Pekerja dan Dunia Usaha dari HIV dan AIDS". Menurut Kepala
Subdirektorat Pengawasan Norma Kesehatan Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Dedi Adi Gumelar, 88 persen pengidap HIV/AIDS adalah kelompok usia
kerja produktif. Separuhya berusia 20-29 tahun. Laki-laki pengidap HIV/AIDS
tiga kali lipat dari perempuan.
Kondisi ini mengancam hilangnya sumber daya manusia
produktif dan kemiskinan bagi keluarga yang ditanggungnya. Ini terkait langsung
dengan pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk miskin. (WHY/MZW)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar